Rabu, 20 Juli 2011

Sekuntum Bunga

Tinggal sendirian di rumah itu, antara bebas dan tidak bebas. Semisal urusan tidur, bebas bisa tidur dimana saja tergantung keinginan. Maaf kata, siapa yang akan melarang tidur diatas meja makan. Kalau mandi, pintu kamar mandi tidak perlu ditutup apalagi di kunci. Tapi,  jika pergi ke luar rumah... jauh dekat pintu rumah harus selalu di gembok.

Sebelum di tinggal pergi sendirian di rumah, ada banyak pesan diterima. Pesan-pesan tersebut jumlahnya lumayan banyak, mulai dari pesan A sampai dengan pesan Z. Dan seperti biasanya, pesan-pesan tersebut cukup diingat tidak pernah dicatat.
Satu dari sekian banyak pesan adalah pekerjaan menyiram tanaman. Dengan bibir manyun, tanamanpun disiram. Jelasnya, satu-persatu tanaman disemprot sampai semuanya basah kuyup.

[ Disemprot...?, seperti nyuci motor mobil saja!. ] Emang...
[ Manyun yah...?. ] iyah
[ Wow... keren. ]


Selesai sudah pekerjaan menyiram tanaman, rokokpun keluar sebatang. Sambil merokok, memperhatikan hasil pekerjaan. Jujur, setelah tanaman di siram suasana taman terasa lebih indah dan nyaman. Dalam benak pikiran, "sepertinya lebih asik menikmati keindahan taman, di sertai satu gelas kopi hitam panas". Dan biasanya sih... kalau sudah keluar rokok plus kopi,  bisa jadi ini adalah hobi baru.

Di dalam taman, ada banyak bunga dengan bentuk dan ukuran beraneka ragaman serta di padu-padankan dengan warna-warna yang indah. Keberadaan bunga adalah hal paling menarik dari sebuah taman. Apalagi kalau ditambah dengan sebuah kolam plus suara gemercik air, hmm... pastinya lebih matap.
Bicara bunga, tentunya sesuatu yang identik dengan kaum perempuan. Muncul sebuah pertanyaan, "karena alasan taman, pantaskah seorang laki-laki menyukai sekuntum bunga?".
Honey, andaikan kau sekuntum bunga... aku adalah kumbangnya... heuheuheu...


Minggu, 10 Juli 2011

Cerita Fiktif

Romantisme seorang buruh pabrik,
Seseorang buruh duduk terpaku di pinggir lintasan ban berjalan. Tekun bekerja, mengerjakan pekerjaan yang tidak pernah henti datang menghampirinya. Sibuk tangan kanan-kirinya bekerja seirama gemuruh mesin. Tidak ada bonus waktu untuk menghapus peluh atau minum seteguk air. Sekedar melepas lelah, sekali-kali mukanya tengadah ke atas lalu... menunduk lagi.
Delapan jam berlalu, jerit histeris sirene pun berbunyi. Dengan wajah girang melompat dia dari kursi kemudian pergi meninggalkan sisa pekerjaan serta mesin yang berhenti menderu. Setengah berlari bergegas memburu pintu keluar pabrik.
Pulang ke kamar kontrakan, kunci pintu dibuka lalu masuk dan sebentar kemudian berdiri termenung. Sambil memandang sebuah celana tergantung di pintu dia pun berujar, "Jadol... tadi pergi kerja, lupa tidak pakai celana".



[ ... ... ... ] Jangan protes dong... ini teh dongeng.


Sering mendengar atau membaca sebuah tulisan,"cerita ini bukan cerita sebenarnya, melainkan cerita fiktif belaka". Cerita fiktif adalah cerita bohong atau cerita atas dasar lamunan atau apa-pun-lah. Menyimak banyak cerita fiktif, diantaranya ada yang mirip cerita nyata. Sepertinya, cerita fiktif jika menggunakan logika yang sangat bagus akan berasa cerita nyata. Tapi mungkin juga karena maksud tertentu, cerita nyata di buat seolah-olah menjadi cerita fiktif.
Ahh.. terlepas dari cerita fiktif atau bukan, hal menarik dari sebuah cerita adalah seorang penulis akan menulis cerita atas dasar pengalaman atau wawasannya.

[ Pernah pergi lupa pakai celana? ] Belum pernah tuh...
[ Hmm... ]  Tapi pernah... pakai celana lupa nutup resleting
[ Terus... ]  Perasaan teh gaya pakai celana, ngan edas euy... tiris.