Entah apa...? permainan yang sedang dimainkannya. Dari awal mula hingga sekarang, apa yang dimainkannya sangat sulit untuk di tebak. Tarik tambang... bukan!!, main yoyo... bukan!!, main layangan juga bukan, lalu apa dong?.
[ Main kucing-kucingan ] Bukan!!. Tau ah, pusing.
[ Pusing yahh... hmm... sepertinya itu permainan gasing ] Ahhh...
Pergi keluar rumah persis jam satu siang, panas!!. Maklum, musim kemarau. Langit warna biru di atas kepala tampak sendirian. Sementara si awan hitam temannya langit, tidak terlihat batang hidungnya entah pergi kemana. Tidak tau persis apakah hari itu bertemakan 'kesendirian'. Di siang hari saya pergi sendirian. Begitu juga matahari, sendirian saja menebar sensasi panas. Sementara langit sendirian ditingal pergi awan dan awan pun sendirian pergi meningalkan langit ahh entah lah... pusing!!. Siang itu, terik sinar matahari terasa sangat panas sekali.
Di ujung jalan perempatan, terlihat tukang becak sendirian duduk di dalam becaknya. Tampak jelas kepala tukang becak teranguk-anguk meski tidak sedang mendengarkan musik metal dan... saya sangat yakin betul akan hal itu. Memang benar kepala tukang becak teranguk-anguk tapi, tidak tampak lidah tukang becak terjulur dan tangannya pun tidak sedang mengacung menunjukan tiga jari. Tidak, tidak, tidak...!!, tukang becak tidak sedang mendengarkan musik metal. Dia cuma kepanasan dan duduk terkantuk-kantuk di dalam becaknya.
Terbesit sedikit niat di hati pergi bersama mengajak tukang becak. Tapi cuma sedikit, yang banyak itu... rasa-rasa ragu. Yah... ragu-ragu untuk mengatakan, "mang!!, ulin yuk". Belum apa-apa sudah terbayang jawaban tukang becak, "saya ini lagi bisnis... nunggu penumpang, masa di ajak main. Yang benar saja dong...!!".
[ Padahal mah... sekalian saja polisi tidur diajak pergi.] Heheheh...
[ Tidak ada kerjaan yahh...] Bukan tidak ada kerjaan, mau ke Garut nih...
[ Ngapain ke Garut? ] Main-main di sawah. Bisnis bro... bisnis!!.
Paling asik main-main di sawah itu kalau musim hujan. Meskipun jalannya becek, tak ada ojek, licin dan cenderung berlumpur, main-main di sawah di musim penghujan terasa asik sekali. Kalau lagi beruntung, balik dari sawah bisa-bisa pulang bawa 'suung' (jamur). Dengan label teman nasi di atas piring, suung itu rasanya enak bu... dan cara mengolahnya pun termasuk kategori mudah. Nenek di rumah, biasanya senang... seandainya di bawakan oleh-oleh suung sehabis pulang dari sawah.
Menemukan suung itu, ibarat menemukan harta karun saja. Kalau hari ini menemukan suung kemudian di petik maka, besok-lusa di tempat yang sama suung itu akan muncul lagi. Oleh sebab itu, tempat dimana suung di temukan selalu di rahasiahkan oleh orang yang pertamakali menemukannya. Sebuah permainan yang menarik bukan?, selain dapat suung, tentunya... punya rahasia juga (ahh... moal beja-beja).
Jenis suung itu macam-macam, salah satu diantaranya adalah suung rampak. Bentuk ukuran suung rampak lebih kecil di banding suung biasa tapi, jumlahnya banyak sekali (rampak). Hal menarik dari suung rampak adalah pada saat suung ditemukan, orang yang menemukan di wajibkan joged terlebih dahulu sebelum memetiknya. Konon katana, iss... ko' jadi katana sih!!. Konon kata-nya, seandainya memetik suung rampak tidak di awali prosesi joged terlebih dahulu maka, besok-lusa suung tersebut tidak akan tumbuh atau muncul lagi. Yahh... itu katanya sih... percaya atau tidak.
Rasanya senang sekali melihat orang joged gara-gara suung. Tidak peduli apakah itu laki-laki, perempuan, anak-anak atau orang dewasa, begitu melihat suung rampak langsung joged... heuy deuh... tarik mang...
Di musim kemarau seperti sekarang ini, main-main di sawah bukannya tidak asik tapi... panas!!. Jangankan beruntung melihat suung, melihat air mampir berkunjung atau sekedar lewat di petakan sawah saja... sulit!!. Di musim kemarau, petakan sawah banyak yang kering karena ditinggal pergi air.
Kenapa air pergi meninggalkan petakan sawah?. Apakah mungkin karena kepanasan atau... marah. Yahh... marah, suatu hari air pernah curhat dan berkata, "Saya cemburu sama kendaraan di jalan raya, mereka selalu mendapatkan jalan yang selalu di buat lebih lebar dan jumlahnya pun cenderung di tambah. Sementara saya, jalan yang biasa dilalui cenderung dipersempit bahkan diantaranya ada yang di hilangkan. Bukannya kurang ajar atau tidak tau diri apabila musim penghujan telah tiba, saya biasa nangkring di jalan raya atau merendam rumah seperti merendam padi di sawah. Itu semua dilakukan karena jalan yang saya lalui semakin hari semakin sempit dan sialnya, tempat parkir sementara pun semakin tidak memenuhi syarat saja". Air marah ... air cembokur...
Bicara air di sawah, tentunya tidak akan terlepas dari sebuah istilah 'sarana irigasi'. Berkaitan dengan sarana irigasi, ternyata ada perbedaan pemahaman di antara kelompok petani. Sekelompok petani mengatakan, sarana irigasi adalah saluran pembuangan air dari hulu menuju hilir. Sementara kelompok petani lainnya mengatakan, sarana irigasi adalah saluran pendistribusian air mulai dari petakan sawah di hulu sampai dengan petakan sawah di hilir. Mereka tetap bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Terhitung sampai dengan tahun 2011 ini, perselisihan penggunaan air di area irigasi masih tetap saja berlangsung dan tidak pernah surut, meski di musim kemarau sekali pun.
Sore hari sehabis sholat ashar, pergi jalan-jalan ke sawah. Di sawah bertemu dengan rekan sejawat dan akhirnya ngobrol plus ngadu bako deh. Diantara banyak obrolan, hal yang paling menarik perhatian adalah ketika dia bercerita tentang pengalamannya pergi ngandir air. Katanya dia, "wah... cilaka, cilaka!! gara-gara paralon hilang di curi, air jadi susah mengalir dan di beberapa tempat, saluran irigasi sepertinya memang sengaja dirusak". Teman yang satu ini, malam-malam berdua dengan rekannya pergi mencari air ke hulu (sumber air). Berangkat Isya pulang Subuh dengan resiko di lempar batu di tengah perjalan. Tujuannya cuma satu, mengawal datangnya air dari hulu untuk bisa masuk ke dalam petakan sawah garapannya di hilir.
Kebutuhan air di sawah, merupakan suatu kebutuhan pokok. Melihat air menggenangi petakan sawah, terasa menyenangkan hati (tiis ceuli, herang mata). Namun ketika menghadapi kenyataan bahwa keberadaan air di sawah mesti di bagi, hati ini terasa berat (egois yahh...). Rutinitas petani di sawah, pagi-pagi memeriksa galengan sawahnya siapa tau ada yang bocor dan sore hari bila datang ke sawah, diam-diam berusaha dengan sengaja membuat bocor galengan sawah orang lain (jahil). Seandainya boleh di simpulkan, maaf... petani kalau sudah berurusan dengan air di sawah, prilakunya cenderung egois dan jahil.
Mensikapi obrolan teman yang pergi ngandir, beberapa tempat irigasi di rusak atau resiko terkena lempar batu pada saat pergi ngandir yahh... sesuatu yang memang mungkin saja terjadi mengingat prilaku petani yang egois dan jahil.
Melihat kenyataan adanya ketidak adilan dalam pembagian air di sawah, membuat petani di hilir menjadi panas hati. Bagaimana tidak panas hati, sawah di hulu happy banyak air sementara sawah di hilir kelabakan mencari air. Keadaan ini membuat prilaku petani di hilir semakin kurang ajar saja. Bahkan di antara mereka ada yang berubah menjadi sosok seorang dengan karakter 'Bento'. Anda tau kan Bento?. Katanya Bento,"... yang penting aku senang, aku menang. Persetan orang susah karena aku yang penting, asik... sekali lagi... asik!!".
Ada seorang petani di hilir yang berinisiatif mencoba membuat sumber air buatan berupa sumur artesis. Setelah beberapa hari di kerjakan akhirnya sumur artesis tersebut berhasil di buat dan air pun keluar lumayan besar. Pada awalnya, keberadaan sumur artesis ini terkesan bagus terutama di musim kemarau. Kebutuhan air di sawah selain mengandalkan dari jalur irigasi juga di bantu dari sumur artesis. Tapi sayang, hal ini tidak berlangsung lama. Dengan alasan pembuatan sumur artesis atas dasar modal sendiri, pemanfaatan air pun didasarkan atas kepentingan pribadi bukan kepentingan umum atau dengan kata lain yahh... suka-suka yang punya saja lah. Dan keadaan ini menjadi pemicu petani lainnya untuk melakukan hal yang sama. Mereka beramai-ramai membuat sumur artesis dengan konsep kepentingan pribadi.
Lumrah dan sangat wajar sekali ketika orang beranggapan bahwa air yang ada di sawah adalah milik umum. Kenapa lumrah dan wajar? yahh... karena dari jaman dahulu keberadaan air di sawah adalah milik umum. Dan kalau pun ada aturan penggunaan air di sawah, tentunya aturan tersebut di buat atas konsep kepentingan umum.
Kalau di pikir-pikir, keberadaan sumur artesis di sawah yang di bangun dengan konsep kepentingan pribadi adalah sesuatu hal yang naif. Agak sedikit aneh ketika air di sawah diakui milik seseorang. Perasaan aneh ini mungkin karena faktor belum terbiasa saja, mendengar kenyataan air di sawah di-klaim kepemilikannya oleh seseorang. Pokoknya, selama dia tidak bertingkah yahh... masa bodoh saja lah. Cuma yang menjadi soal, dia memang bertingkah. Aturan pengunaan air atas dasar konsep umum dia rubah menjadi konsep asal dia senang. Ahh bento... bento, lu' tuh bikin keder saja.
Aduh aduh... gara-gara irigasi buruk rupa, petani jadi terlihat buruk rupa juga. Petani tidak buruk rupa, buktinya tuh lihat photo di sudut kiri bawah... ganteng yahh. Petani di sawah jumlahnya banyak, sementara petani yang bernama Bento cuma satu dua orang saja. Mengenai cerita orang pergi ngandir dengan resiko di lempar batu, sepertinya itu agak sedikit di dramatisir karena jalan-jalan disawah sengaja nyari batu... susah!!. Dan berkaitan pipa paralon yang hilang di curi, saya yakin pelakunya itu adalah oknum... bukan petani. Justru yang menjadi pertanyaan, kenapa sarana irigasi menggunakan pipa paralon?. Ukuran diameter paralon yang di jual di toko material paling besar 3 inch. Sebagai sarana pengairan untuk belasan petak sawah yah... boleh lah. Tapi ketika di gunakan untuk puluhan petak sawah, apakah layak?.
Di musim kemarau sekarang ini, sumber air debitnya makin surut, sarana irigasi made in Walanda makin buruk, distribusi air makin kusut. Bicara air di sawah saat musim kemarau bawaannya manyun melulu... SURUT-BURUK-KUSUT.
NEGARA - Ku Adukan Pada Sang Sepi